Minggu, 01 November 2009

Reproductive Behaviour

Musim peneluran penyu hijau di suatu  tempat berbeda dengan di tempat lain. Di Indonesia musim peneluran penyu Hijau berlangung sepanjang tahun dengan puncak musim yang berbeda di setiap daerah. Interval bertelur penyu Hijau berkisar antara 12 – 15 hari dan sebagian besar penyu Hijau bertelur antara 3 – 7 kali dalam setiap musim peneluran (Helmstetter, 2005). Hasil penelitian Nuitja (1983) menunjukkan bahwa penyu Hijau yang bertelur di pantai Pangumbahan mempunyai interval antara 3 – 16 hari.

Induk penyu tidak selalu kembali untuk bertelur pada tahun berikutnya. Setelah beberapa bulan musim peneluran induk penyu akan kembali ke daerah pakan dan mulai mempersiapkan musim kawin selanjutnya. Durasi waktu antara musim reproduksi dengan musim reproduksi selanjutnya didefinisikan sebagai interval remigrasi. Menurut  Limpus (1985) rata-rata interval remigrasi induk penyu bervariasi dari tiap spesies. Induk penyu Hijau akan kembali untuk bertelur setelah 1 hingga 9 tahun dan bahkan lebih lama lagi (Limpus et al., 1984b, Limpus 1995a). Di Florida induk penyu Hijau akan kembali bertelur antara 2, 3, atau 4 tahun berikutnya (National Marine Fisheries Service, 1998). Begitu juga di Hawaii, induk penyu Hijau kembali lagi ke pantai untuk meletakkan telurnya setelah 2 hingga 4 tahun (Hirth, 1962). Sampai saat ini belum ada penjelasan apakah pejantan dan betina penyu Hijau menggunakan skala waktu yang sama untuk bereproduksi.

Penyu pada umumnya bertelur di pantai pada petang hari atau dalam keadaan gelap. Proses peneluran penyu berlangsung pada pukul 18:00-06:00 hari berikutnya (Nuitja, 1983). Lama proses peneluran berkisar antara 1- 3 jam. Ada kalanya penyu menuju ke pantai tidak untuk bertelur akan tetapi hanya mensurvei tempat sebelum induk penyu meletakkan telurnya, kondisi ini disebut non-nesting emergence (memeti).

Menurut Miller (1997) aktivitas ketika penyu bertelur meliputi;

1.       Saat Muncul Dari Laut (Emergence)

Suatu keadaan ketika penyu baru saja muncul dari laut dan melihat kondisi pantai apakah tempat tersebut aman sebagai tempat bertelur.

2.       Merangkak Menuju Pantai (Crawling)

Setelah kondisi lingkungan dirasa aman untuk bertelur, penyu bergerak menuju pantai untuk mencari tempat yang sesuai untuk bertelur.

3.      Menggali Lubang Badan (Digging Body Pit)

Ketika penyu telah menemukan tempat yang sesuai untuk bertelur maka penyu akan membersihkan tempat tersebut dan membuat lubang badan.

4.       Menggali Lubang Telur (Digging eggs chamber)

Setelah selesai membuat lubang badan, induk penyu akan menggali lubang telur untuk meletakkan telurnya.

5.       Bertelur (Laying egg).

Induk penyu akan meletakkan telurnya pada lubang telur tersebut. Dalam satu kali oviposisi induk telur akan mengeluarkan dua hingga tiga butir telur.

6.       Menutup Lubang Telur (Covering eggs chamber)

Selesai meletakkan telurnya, induk penyu akan langsung menutup lubang telur tersebut.

7.       Menutup Lubang Badan (Covering body pit)

Setelah selesai menutup lubang telur induk penyu akan melanjutkannya dengan menutup lubang badan agar nampak seperti semula.

8.       Penyamaran Sarang (Camuflase)

Untuk menghindari sarang penyu dari gangguan predator, induk penyu akan menyamarkan sarangnya.

9.       Kembali Ke Pantai (Back to the sea)

Setelah selesai bertelur, induk penyu akan meninggalkan sarangnya dan kembali ke laut.

Pada kondisi emergence, crawling, digging body pit dan digging eggs chamber, induk penyu sangat sensitif terhadap kondisi sekeliling sehingga pada kondisi ini harus dihindari aktifitas yang dapat menyebabkan induk penyu mengurungkan niatnya untuk bertelur. Setelah induk penyu meletakkan telurnya yang pertama (laying eggs), induk penyu tidak akan menghiraukan gangguan yang ada, pada kondisi ini pengukuran panjang dan lebar karapas dapat dilakukan.

Untuk lebih meningkatkan keberhasilan penetasan semi alami, ada beberapa faktor yang erat kaitannya dengan keberhasilan tersebut perlu mendapat perhatian, yaitu: difusi gas, kelembaban, temperatur sarang dan faktor biotik (Miller, 1999).

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar